Saturday, 7 March 2015

Kumpulan Cerpen


KETEGARAN CINTA BERTAKBIR
Oleh : Moh. Imam
20 Juni 2012
Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di Sekolah Dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal juragan sapi perah di wilayah  kami,  memiliki mata sebening kaca, dan kesung pipit yang manis menawan siapa saja dan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.
Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat solehah, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu “ Don Juan” yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track recordnya yang begitu gelamor dan mentereng tidak mergukan untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya, hanya bias menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, mereka pun pacaran mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati sedikit teriris). Apalagi Ranu dan Mimi saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina kelauarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.
Namun namanya hidup pasti ada kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain  pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga meraka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, ranu di haruskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah  menikah mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya “Ranu”. Melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju kota bertuah.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, dimana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai. Sedangkan Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir  mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.
Sampai di suatu siang yang terik sekali. Di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya di kejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan “Ada tamu dari pekanbaru. “siapa gerangan ? “ pikirku ketika itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku, “ Faris …. Faris kan ! “ katanya.
Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian  berlari dan merangkulku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu  aku hanya bias diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun  aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudia kau menjauhkannya dari bahuku sambil ragu, bergumam pelan, “Mimi……Mimikah?”
Masyaallah…… Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh  yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek dibeberapa bagian. Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku Tanya keadaan Ranu, matanya  berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.
“ Mass Ranu, Ris ….. mas ranu sudah pulang kepadanya lima bulan yang lalu” kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelulm aku sempat menimpali, Mimi menangis bertubi-tubi dan bercerita “ Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaan merokoknya tiga tahun yang lalu, semua sisa peniggalan orang tuaku  sudah habis terjual ludes, untuk biaya pengobatannya. Sedangkan penyakitnya bertambah parah, keluarga mas Ranu enggan membantuku, kamu tau sendiri kan, aku menantu yang tidak di inginkan, dan ketika mas ranu meninggal, pranng tuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak  mau membantuku, “ katanya
Dia bercerit, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “ keluarganya hanya memberikan uang sekadrnya untuk penguburan mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumamh tempat tinggal kami satu-satunya. Dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib disana Ris !” kata-kata Mimi berhrnti disini, di sambut isak tangisnya.
Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak didada.
Mimi tertegun……. dia memandangku nanar, kemudian mengulurkan tangan, memberikan seutai kalung emas besar, sisa hartanya.
“ Ini untukmu Ris….. aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak kecil-kecilan, akku tidak mau merepaotkanmu lebih dari ini Ris”.
Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja,  menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jum’at  kemaren aku gajian. Sebagai pegawai  di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya. tapi, itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari tas di kamarku, semua ku infaqkan untuk mimi, semata-mata karena ikhlas….”
Mimi menatap amplop ditanganku, sejurus kemudian aku meletakkan  amplop tersebut diatas meja sambil berkata,” ini sisa uangku mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirin  caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Beberapa hari kemudian, akhirnya Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil didekat rumahku.
Alhamdulilla, sekarang ditahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri. Banyak yang bias aku contoh  dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi  selalu menyapa riang aku., wajah cantiknya kembali bersinar. Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris….Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan  seseorang atau Allah lebih tahu apa  yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”
Lalu mimi mengajak melihat kepulasan tidur anal-anaknya diruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang yang mungil). mereka berjejal pada tempat tidur yang reot, kemudian katanya “ lihatlah Ris..,betapa berat menjalani seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris, sedangkan kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliku masa depan yang panjang.”
Akupun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas didepan rumah Mimi, dan terus memperhatika ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta dihatiku. Sampai suatu ketika aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh Syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang kan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar...

SENYUMAN TERINDAH DAN TERAKHIR
Oleh : Moh. Imam
17 Juli 2010

Syla amalia,itulah nama sahabatku yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat mengenal syla, dialah sosok jiwa yang ku  kagumi. Ia selalu tegar menghadapai cobaan yang menerpanya. Senyumannya yang indah selalu meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya nilai raportnya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang di anugerahi kecerdasan oleh al-wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang, penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya membuat syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah.
Setelah pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku,syla. Sekarang aku hanya sendiri menyusuri perjalanan sepi.
Aku pulang kerumah mengganti baju,  dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan, “cio….” Terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik,terlihat sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“ehh…. Om anton, beli buah juga ya ? gimana keadaan syla, apa dia udah sadar ?” tanyaku bertubi-tubi.
“iya,,,,,om beli buah juga untuk syla.dan Alhamdulillah sekarang syla udah sadar. Cio mau menjenguk syla juga, ya ?” jawab om anton sambil bertanya balik.
“iya, om.”
“kalau begitu, barang om aja. Om juga mau kerumah sakit,” tawar om anton.
“iya om, cio ikut sama om anton.” Jawabku
Sebelum menuju kerumah sakit, aku dan om, anton menuju sebuah took bunga hidup. Aku memilih tiga batang Bungan angrek putih, dan om anton serangkaian bunga angrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipiih, kami langsung menuju runah sakit.
“syla…” kataku sembari mendekapnya sembari penuh kerindua. Kesepiannku terobati, bibirku yang tadi datar karena nilai ulanganku yang dibawah standart,  menjadi sebuah lengkunagan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“syl…….. kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi, itulah yang kurasakan selama ini, syl…..” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, pa ?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om anton hanya mengangguk  dan mengiyakan  ucapan anak semata wayangnya itu. Om anton selalu terlihat sedih jika ia menatap syla. Walaupun syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal sebenarnya selalu menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan syla seakan tak dapat di selamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi om anton, ia ikut kehilangan gadis kecilnya yang akan genap usia 14 tahun.
Seperti biasanya, hari ini pun  aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit  makhluk hidup  yang hanya berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melilllhat syla seperti mahluk yan tak berdaya, hidung , mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter, dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengali. Hatiku getir, tak kuasa ku menahan tangisan ini, begitu juga denganom anton yang tak hentinya memanjatkan doa kehadirat tuhan. Bibir syla sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapipsppulit baginya untuk menggerakkanya, hany anangis yang bisa syla lakukan. Setelah itu ku ihat senyuman terindah dari bibirnya.
Tak lama hal itu  berlangsung, nafas, sertaq detak jantung syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti om anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan Kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa………” teriakku berbarengan dengan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan om anton. Syla telah menyusul ibunya, “ syla….. selamat tinggal, suaru saat aku akan kesana dan menemui dan menemani-mu”.
Sabtu 14 februari. Aku pergi ketoko bunga hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga angrgek. Lalu pergi ke TPU  untuk  berziarah kemakan sahabatku, syla. Tidak sulit bagiku  untuk mencari makam syla, hanya beberapa miter dari gerbang  TPU. Dari gerbang kulihat seseoarang  berada di makam syla. Ku perhatikan orang itu, beberapa saat kemudian, ia berdiri  dan beranjak dari makam sfyla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam syla. Saat berpapasan ternyata orang itu  adalah om anton. Ia menyapaku dan tersenyum,  lalu bilang padaku bahwa syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin om anton hanya bercanda. Aku hanya tersennyum, dan berjalan menuju makam syla.
Ku letakkan serangkaian bunga anggrek yang ku  beli tadi di atas makam syla. Selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada syla. Dan aku pandangi batu nisan  tempat nama sahabtku  diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan  didepanku  atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip   dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir syla. Kubalas senyuman itu, seketika ia menghilang.
“Mengkinkah itu syla……..?”



CINTA PERTAMA
Oleh : Imam Patot
14 Juli 2012

Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah adit punnya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik dia. Aku setahun lebih tua darinya, status social keluargaku dan keluarga adit bagaikan langit dan bumi. Yah adit  seorang pengusaha sukses dan ibunya seporang guru, sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD, ibuku kemuadian berjualan kue untuk menghidupi kami, yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar lima belasan ribu. Aku juga sering memebantu menjualkan kue ibuku kesekolah. Nammun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersauddara. Aku sendiri pernah di usir dari kelas karena belum membayar yang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisiku itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemku dengn doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat adit sejak SD. Jika adit adalah seorang pendiam ,doni adalah cowok yang supel. Hamper semua orang mengenalnnya. Dengan senang hati doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampaui kerumah. Di jalan doni bercerita : “Mbak, kemaren adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek didesa kita juga ini lho .” cerita doni memanggilku dengan embel-embel mbak, tradisi desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
“yang bener aja, don ? emangnya siapa?”
“Tak tau juga mbak, adit tak sebut nama,”
“iyakah ? tapi didesa kita ini ‘kan banyak cweknya ?”
“ iya juga mbak, and… kira-kira siapa ya ? hayooo siapa……?
“ooi oi siapa dia oh siapa dia,” doni malah menyanyi seperti pembawa acara kuis siapa dia di TVRI waktu kami masih kecil dulu.
Aku hanya tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku harapan. Tapi, ah tak mungkin, masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk di jatuhin cinta sama adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandingan olahraga dilapangan sekolah, adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika ku dengan suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata doni dan …adit, doni mau meninjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku!.
“Ehm….tenang mbak,tenang. Bukan untuk aku kok, mbak. Itu untuk adit,” kata doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah disini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan mbak, mbak tari yang baik …?” akku melirik adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk kerumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu ku simpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, ku bilang sama doni agar nanti adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba…..gedubrak….terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak jatuh kesakitan  terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera mengahampirinya, orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang  segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar  dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia  adalah adit.  Namun tak lama polisi dating membubarkan kerumunan dan segera membawa adit kerumah sakit terdekat, aku dan temanku menemaninya tanpa di minta.
Sesampainya di rumah sakit, adit dibawa ke ruang gawat darurat, polisi meminta sedikit informasi mengenai adit. Aku mengatakan adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah telambat pulang. Meski aku keberatan, ku anggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian adit dibawa keruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit memndapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat masih tertidur ketita perawar meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur adit. Kutatap wajah adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan adit, sadah hamper jam 3 sore. Kemana ya keluarga adit, batinku. Aku turun dikursi dank u telungkupka kepalakku di ranjang. Diruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk adit, segera ku usap mukaku  dan sedikit ku rapikan rambutku. Ku tengok adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah ku ucapkan terima kasih padanya. Kami sama-sama saling terdiam tak tau harus berkata apa. Beberapa menit berlalu , kucoba memecahkan kelakuan ini.
“Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” Tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil ku sandarkan badanku di dinding jendela.
“Lumayan mbak, mbak dari tadi nungguin aku ya?”Tanya adit lemah.
Aku hanya mengangguk . kami sama –sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berrada disini bersama adit, tapi rasanya lidah ini rasanya kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, kemana ibu adit ya, kok sampai sekarang belum dating juga. Tadi polisi menjemput kerumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sekali menatap kepala adit.
Mungkin di rumah tak ada orang, mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa inggri paling mbok wati yang ada dirumah,” jawab adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya  sedikit kearahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam. Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa-gesa memasuki kamar. Ayah dan ibu adit yang kelihaatan sangat mencemaskan adit, segera menghampirinya yang berbaring lemah. Baru setelah itu ibi adit menoleh kepadakuk dan mengucapkan terima kasih. Tak lama terselang doni datang dengan kecemasan juga, doni tersenyum padaku sebelum menyapa adit. Wah untung ada doni, bisa meminta tolong nganteriin aku pulang. Aku sudahh capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kku berbisik pada doni untuk mengantarkankku pulang. Dan ternyata dia mengiyakannya. Aku berpamitan pada ayah dan ibu adit yang tak hentinya mengucapkan terima kasih padaku karena sudah menemani adit, begitu juga adit dengan di iringi senyum manisnya.
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketia kau sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdenganr bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku di ketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yan gcantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagi rasa terima kasih dari keluarganya. Kata adit, itu bukinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah di pinjamnya bersama doni.
“Mbak ini sesuai janji doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh hati. Aku salah tingkah,  seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi adit langsung berpamitan, dan ketika akan ku letakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas terlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya adit yang tereslip di lembaran ini. Segera ku ambil dan kubuka, ku baca tulisan didalamnya,

To : mbak tari
Mbak, adit suka sama mbak. Rasa ini sudah lama adit simpan.
Bagaimanakah perasaan mbak pada adit. Maaf ya mbak ?
From : Raditya.



TEDUH YANG TELAH PERGI
Oleh : Moh. Imam
17 Juli 2010

“pagi hari, di kediaman keluarga dermawan ….
“ya … pak masa dinda ke skul harus naik angkot sich, bun ?”
“hari ini pak kosim  nggak bisa ngantar. Karena anaknya lagi sakit, dan semalam izin pulang. Udah , sekali-kali kamu berangkat naik angkot, n apa? Buruan sana berangkat, ntar telat lho!!!”
“ya udah dech … dinda pergi dulu ya,  bun!”
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi dinda. Karena supirnya harus menemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia berangkat ke sekolah naik angkot.
“duh, bunda ne, kenapa nggak  nyari orang lain sich buat nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot. Mana panas lagi.”
Saat dia lagi sibuk mangoceh, tiba-tiiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebela dinda. Dan jantung dinda hampir aja copot saat itu cowok senyum dengannya.
Dinda ngerasain perasaan yang lega dan semua kesalahannya hilang seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi di tambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang udah lama tertahankan olehnya.seharian in krja dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo dinda kesambet seatn halte bus.
“duh …. Itu cowok manis banget ya …. Saat gue liat mukanya, gue ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu cowok? Rasanya gue pengen banget kenalan  ama tu cowok. Pi gue malu. Hm … gue  kasih nama “teduh” aja dech …. Soalnya matanya tu tedu banget. And mulai besok gue bakalan naik bus dech … soalnya gue pengen ngeliat muka tu cowok lagi” pikir dinda yang masih nggak berhenti  mikirkan cowok itu di mimpi indahnya.
Paginya….
“bun, dinda pergi kesokalah dulu ya …!!!” pamit dinda sambil mencium pipi bundanya.
“lho din, kamu nggak nunggu pak kosim dulu?”
“nggaklah bun, hari ini pngen naik bus aja …da bunda,” ucap dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..
“duh si teduh mana ya? Kok belum dating sich?” batn dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok  yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa dinda.
“Hei …. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat dinda  terpaku.
“Lho kok diam?”“Eh,,, sorry… tadi kamu bicara apa?”
“Aku tannya, kamu baru saja naik bus ya? Soalnya aku baru saja ngeliat kamu semalam”.
“Ha…., Oh iya …. Nam ….” Belum dinda menyelesaikan pertanyaanya, tiba-tiba bus
yang menuju ke sekolah dinda datang.
“Eh … tu bus kamu udah datang”.
“Oh iya…. Hm…. Aku berangkat dulun ya…...,” pamit dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah dinda berat banget buat ninggalin “teduh”nhya itu.
Sudah sebulan dinda ketemu sama cowok ppujaan hatinnya itu. Tapi nggak sekalipun dia berani berkenalan  dengan “ teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tidak berani. Sampai akhirnya suatu hari dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan “teduh” hari ini. Tapi orang yang di tunggu-tunggu tak kunjunng datang. Dan dinda nggak sadar kalo itu adalah pertemuan terakhir dengan “teduh”nya itu.
Seminggu sudah dinda menanti sang pujaan hati, tapi “teduh” tak kunjung datang. Dan seminggu pula dinda melewati hari-harinya dengan tidak  bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan “teduh”.
Sauatu pagi, saat iia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa diduduki “teduh” sudah diduduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusiannya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat di rindukan dinda.tapi dari raut mukanya, tampak sekai kalau beliau sedang bersedsih. Tiba-tiba ibu itu menyapa dinda dengan ramah.
“Lagi nuggu bus ya, dek?” sapanya ramah.
“Iya bu….”
“kalo anak saya masih hidup , dia mungkin duduk disini dan nungguin bus juga kayak kamu!”
“Lho … memangnya anak ibu kemana?”
“Anak saya usah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.
“Maksud ibu  dia pergi keluar kota ya?”
“bukan nak, dia udah meninggal dunia.”
“Oh … maaf ya bu….”
Nggak apa-apa kok dek …… dia itu punya mata yang teduh sekali, setiap orang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”
“Sayang ya bu, saying tak bisa  melihat mukanya. Tapi dar cerita ibu, saya ngerasa mirip banget dengan seseorang.”
“Hm…. Kebetulan saya membawa fotonya.” Jaawab ibu sambil menyerahkan foto anaknya.
“Oh ya…. Sebelumnya ibu ingin minta tollng  sama kamu, bisa nggak membantu ibu?”
“Apa yang bisa saya bantu Bu?”
“Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu di berikan kepada seorang cewek yang bernama dinda. Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adek bisa menyampaikannya kepada dinda.” Pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan dinda dengan perasaan bingung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu ternyata …..
“Halo dinda …. Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa akku tahu namamu … itu karena aku sengaja melihat namamu … andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi kau tak berdaya  menahan sakitnya  kepalaku ini. Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa kau sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku nggak punya keberanian buat ngungkapinnya.
Karena kita belum saing kenal,  tapi sekarang aku lega, karena sebelum aku meninggal,  akku bisa mengungkapin perasaan ini, walaupun hanya lewt sepucuk surat. Dan  sekarang aku bisa meninggalkan dunia ini  tanpa beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambah semangatku untuk hidup lebih lama.
Dariku Reza”.
Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata dinda tak dapat di tahan lagi. Ia merasa laemas saat melihat sosok pria  yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti  selama sebulan. Membuatnya rela panas-panasan menunggu  angkot, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari. Lalu dinda  membaca surat terakhir dari teduh. Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak bicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian “teduh” bersama denga n rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.


semoga bermanfaat...!

No comments:

Post a Comment