Oleh : Moh. Imam
20
Juni 2012
Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak
kami sama-sama duduk di Sekolah Dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal
juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan kesung pipit
yang manis menawan siapa saja dan runtuh hatinya jika memandang senyumnya.
Termasuk saya.
Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat solehah, yang
patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu “ Don Juan” yang satu ini juga
sangat menyukai Mimi. Track recordnya yang begitu gelamor dan mentereng tidak
mergukan untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya, hanya bias menatap cinta dari
balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, mereka pun pacaran mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati sedikit teriris). Apalagi Ranu dan Mimi saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina kelauarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.
Lambat laun, mereka pun pacaran mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati sedikit teriris). Apalagi Ranu dan Mimi saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina kelauarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.
Namun namanya hidup pasti ada kendalanya, di balik kesejukan melihat
hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah
itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain
pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi,
sehingga meraka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang
tua Ranu. Dan secara otomatis, ranu di haruskan menyingkir dari percaturan hak
waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah mereka pergi menjauh keluar dari kota
kami, Dumai menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua
orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan
sang kekasih abadi pujaan hatinya “Ranu”. Melenggang pelan bersama mobil yang
membawa mereka menuju kota bertuah.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun
kelima, dimana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai. Sedangkan Mimi
entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak
keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.
Sampai di suatu siang yang terik sekali. Di hari Sabtu, kebetulan
saya berada di rumah tiba-tiba saya di kejutkan oleh suara ketukan pintu kamar.
Temanku mengatakan “Ada tamu dari pekanbaru. “siapa gerangan ? “ pikirku ketika
itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu,
lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku, “ Faris …. Faris kan
! “ katanya.
Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari dan merangkulku, sambil terisak keras
di bahuku. Saat itu aku hanya bias diam
tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudia kau menjauhkannya dari bahuku sambil ragu, bergumam pelan, “Mimi……Mimikah?”
Masyaallah…… Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan
alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper
berukuran besar yang sudah robek dibeberapa bagian. Semula Mimi terdiam seribu
bahasa pada saat aku Tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam,
menunggu jawabannya.
“ Mass Ranu, Ris ….. mas ranu sudah pulang kepadanya lima bulan yang
lalu” kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelulm aku
sempat menimpali, Mimi menangis bertubi-tubi dan bercerita “ Mas Ranu kena
kanker paru-paru, karena kebiasaan merokoknya tiga tahun yang lalu, semua sisa
peniggalan orang tuaku sudah habis
terjual ludes, untuk biaya pengobatannya. Sedangkan penyakitnya bertambah
parah, keluarga mas Ranu enggan membantuku, kamu tau sendiri kan, aku menantu
yang tidak di inginkan, dan ketika mas ranu meninggal, pranng tuanya masih saja
membenciku, mereka sama sekali tidak mau
membantuku, “ katanya
Dia bercerit, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang
cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “
keluarganya hanya memberikan uang sekadrnya untuk penguburan mas Ranu, hingga
aku terpaksa menjual rumamh tempat tinggal kami satu-satunya. Dan dari sana aku
membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku
gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib disana Ris !”
kata-kata Mimi berhrnti disini, di sambut isak tangisnya.
Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru
yang sudah sedari tadi menyesak didada.
Mimi tertegun……. dia memandangku nanar, kemudian mengulurkan tangan,
memberikan seutai kalung emas besar, sisa hartanya.
“ Ini untukmu Ris….. aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk
modal usaha, dan kontrak kecil-kecilan, akku tidak mau merepaotkanmu lebih dari
ini Ris”.
Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju
sisa uang di amplop, dalam tas. Jum’at
kemaren aku gajian. Sebagai pegawai
di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan
pegawai yang lain tentunya. tapi, itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop
tersebut dari tas di kamarku, semua ku infaqkan untuk mimi, semata-mata karena
ikhlas….”
Mimi menatap amplop ditanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut diatas meja sambil berkata,”
ini sisa uangku mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirin caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai
usaha.”
Beberapa hari kemudian, akhirnya Mimi bisa mulai usahanya dari modal
itu, mengontrak rumah kecil didekat rumahku.
Alhamdulilla, sekarang ditahun kedua, usahanya sudah menampakkan
hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri. Banyak yang bias aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah
pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi
selalu menyapa riang aku., wajah cantiknya kembali bersinar. Dia juga
tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap
harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai
sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah
berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris….Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas
kemampuan seseorang atau Allah lebih
tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan
kamu tidak.”
Lalu mimi mengajak melihat kepulasan tidur anal-anaknya diruang tamu
yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk
memasak (sungguh rumah yang yang mungil). mereka berjejal pada tempat tidur
yang reot, kemudian katanya “ lihatlah Ris..,betapa berat menjalani seorang
diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan
aku menjalaninya Ris, sedangkan kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliku masa
depan yang panjang.”
Akupun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih
mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas didepan rumah Mimi,
dan terus memperhatika ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta
dihatiku. Sampai suatu ketika aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan
oleh Syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya
yang kan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar...
SENYUMAN TERINDAH DAN
TERAKHIR
Oleh : Moh. Imam
17
Juli 2010
Syla amalia,itulah nama sahabatku yang selalu hadir dalam
kehidupanku. Aku sangat mengenal syla, dialah sosok jiwa yang ku kagumi. Ia selalu tegar menghadapai cobaan
yang menerpanya. Senyumannya yang indah selalu meluluhkan hatiku saat aku
sedang menasehatinya nilai raportnya tidak pernah merah, dan dialah seorang
yang di anugerahi kecerdasan oleh al-wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin
berkurang, penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya membuat
syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan syla
tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit
yang dialami syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke
rahmatullah.
Setelah pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku
pulang bersama sahabatku,syla. Sekarang aku hanya sendiri menyusuri perjalanan
sepi.
Aku pulang kerumah mengganti baju,
dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan, “cio….”
Terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik,terlihat
sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“ehh…. Om anton, beli buah juga ya ? gimana keadaan syla, apa dia
udah sadar ?” tanyaku bertubi-tubi.
“iya,,,,,om beli buah juga untuk syla.dan Alhamdulillah sekarang
syla udah sadar. Cio mau menjenguk syla juga, ya ?” jawab om anton sambil
bertanya balik.
“iya, om.”
“kalau begitu, barang om aja. Om juga mau kerumah sakit,” tawar om
anton.
“iya om, cio ikut sama om anton.” Jawabku
Sebelum menuju kerumah sakit, aku dan om, anton menuju sebuah took
bunga hidup. Aku memilih tiga batang Bungan angrek putih, dan om anton
serangkaian bunga angrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipiih, kami
langsung menuju runah sakit.
“syla…” kataku sembari mendekapnya sembari penuh kerindua.
Kesepiannku terobati, bibirku yang tadi datar karena nilai ulanganku yang
dibawah standart, menjadi sebuah
lengkunagan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“syl…….. kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu
beberapa tahun lalu. Sepi, itulah yang kurasakan selama ini, syl…..” kataku
usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, pa ?” jawabnya
sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om anton hanya mengangguk dan
mengiyakan ucapan anak semata wayangnya
itu. Om anton selalu terlihat sedih jika ia menatap syla. Walaupun syla berkata
seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal sebenarnya
selalu menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan syla seakan tak dapat di selamatkan.
Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar
dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi om anton, ia ikut kehilangan gadis
kecilnya yang akan genap usia 14 tahun.
Seperti biasanya, hari ini pun
aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar
sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit
makhluk hidup yang hanya
berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melilllhat syla seperti mahluk yan
tak berdaya, hidung , mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak
hentinya mengalir. Dokter, dan perawat berusaha menghentikan darah yang
mengali. Hatiku getir, tak kuasa ku menahan tangisan ini, begitu juga denganom
anton yang tak hentinya memanjatkan doa kehadirat tuhan. Bibir syla sepertinya
ingin mengatakan sesuatu, tapipsppulit baginya untuk menggerakkanya, hany
anangis yang bisa syla lakukan. Setelah itu ku ihat senyuman terindah dari
bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung,
nafas, sertaq detak jantung syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang
paling ditakuti om anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah
kelabu, tetesan Kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa………” teriakku berbarengan dengan guntur yang seakan ikut
bersedih bersamaku, dan om anton. Syla telah menyusul ibunya, “ syla….. selamat
tinggal, suaru saat aku akan kesana dan menemui dan menemani-mu”.
Sabtu 14 februari. Aku pergi ketoko bunga hidup, kali ini aku
membeli serangkaian bunga angrgek. Lalu pergi ke TPU untuk
berziarah kemakan sahabatku, syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam syla, hanya beberapa
miter dari gerbang TPU. Dari gerbang
kulihat seseoarang berada di makam syla.
Ku perhatikan orang itu, beberapa saat kemudian, ia berdiri dan beranjak dari makam sfyla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam syla. Saat berpapasan
ternyata orang itu adalah om anton. Ia
menyapaku dan tersenyum, lalu bilang
padaku bahwa syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin om anton hanya bercanda.
Aku hanya tersennyum, dan berjalan menuju makam syla.
Ku letakkan serangkaian bunga anggrek yang ku beli tadi di atas makam syla. Selamat ulang
tahun dan selamat hari kasih sayang pada syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabtku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan
didepanku atau lebih tepatnya
seseorang. Wajahnya mirip dengan
sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman
terakhir syla. Kubalas senyuman itu, seketika ia menghilang.
“Mengkinkah itu syla……..?”
CINTA PERTAMA
Oleh : Imam Patot
14 Juli 2012
Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah adit punnya
perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik dia. Aku setahun lebih tua
darinya, status social keluargaku dan keluarga adit bagaikan langit dan bumi.
Yah adit seorang pengusaha sukses dan
ibunya seporang guru, sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah
tiada sejak aku masih kelas 1 SD, ibuku kemuadian berjualan kue untuk
menghidupi kami, yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar lima belasan ribu.
Aku juga sering memebantu menjualkan kue ibuku kesekolah. Nammun semua itu
belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersauddara. Aku sendiri pernah
di usir dari kelas karena belum membayar yang bulanan sekolah selama tiga
bulan. Karena kondisiku itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemku dengn doni ketika pulang sekolah.
Doni adalah sahabat adit sejak SD. Jika adit adalah seorang pendiam ,doni
adalah cowok yang supel. Hamper semua orang mengenalnnya. Dengan senang hati
doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampaui kerumah. Di jalan
doni bercerita : “Mbak, kemaren adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama
cewek didesa kita juga ini lho .” cerita doni memanggilku dengan embel-embel
mbak, tradisi desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
“yang bener aja, don ? emangnya siapa?”
“Tak tau juga mbak, adit tak sebut nama,”
“iyakah ? tapi didesa kita ini ‘kan banyak cweknya ?”
“ iya juga mbak, and… kira-kira siapa ya ? hayooo siapa……?
“ooi oi siapa dia oh siapa dia,” doni malah menyanyi seperti pembawa
acara kuis siapa dia di TVRI waktu kami masih kecil dulu.
Aku hanya tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat
aku harapan. Tapi, ah tak mungkin, masih banyak teman-temanku yang lebih pantas
untuk di jatuhin cinta sama adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun
aku hanya bisa menatap adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan
adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandingan
olahraga dilapangan sekolah, adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku
menyapa adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika ku dengan suara sepeda motor
berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan.
Ternyata doni dan …adit, doni mau meninjam soal-soal ulangan umum sekolah.
Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku!.
“Ehm….tenang mbak,tenang. Bukan untuk aku kok, mbak. Itu untuk
adit,” kata doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang
sendiri, toh udah disini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan mbak, mbak tari yang baik …?” akku melirik adit yang
hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk kerumah, dan mengambil lembaran
soal-soal ulangan umum yang selalu ku simpan rapi tiap semesternya. Ketika
kuberikan lembaran-lembaran itu, ku bilang sama doni agar nanti adit yang
mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte,
tiba-tiba…..gedubrak….terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat
seorang pengendara motor yang nampak jatuh kesakitan terlempar beberapa senti dari motornya. Aku
dan temanku segera mengahampirinya, orang-orang pun segera berhamburan
menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke
halte. Kulihat darah keluar dari pelipis
kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah adit.
Namun tak lama polisi dating membubarkan kerumunan dan segera membawa
adit kerumah sakit terdekat, aku dan temanku menemaninya tanpa di minta.
Sesampainya di rumah sakit, adit dibawa ke ruang gawat darurat,
polisi meminta sedikit informasi mengenai adit. Aku mengatakan adit adalah
tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi
pihak keluarga adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah
telambat pulang. Meski aku keberatan, ku anggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian adit dibawa keruang perawatan. Ruang itu terdiri
dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih.
Adit memndapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat masih tertidur ketita
perawar meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan adit. Aku duduk di
ranjang pasien sebelah tempat tidur adit. Kutatap wajah adit yang bagian
pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya
telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan adit, sadah hamper
jam 3 sore. Kemana ya keluarga adit, batinku. Aku turun dikursi dank u
telungkupka kepalakku di ranjang. Diruangan AC begini aku merasa ngantuk
sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk adit, segera
ku usap mukaku dan sedikit ku rapikan
rambutku. Ku tengok adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa
perawat itu. Perawat kembali pergi setelah ku ucapkan terima kasih padanya.
Kami sama-sama saling terdiam tak tau harus berkata apa. Beberapa menit berlalu
, kucoba memecahkan kelakuan ini.
“Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” Tanyaku lirih, agak salah
tingkah sambil ku sandarkan badanku di dinding jendela.
“Lumayan mbak, mbak dari tadi nungguin aku ya?”Tanya adit lemah.
Aku hanya mengangguk . kami sama –sama terdiam lagi, meski aku
sangat senang berrada disini bersama adit, tapi rasanya lidah ini rasanya kaku
untuk mengajaknya bicara.
“Oya, kemana ibu adit ya, kok sampai sekarang belum dating juga.
Tadi polisi menjemput kerumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan
sekali menatap kepala adit.
Mungkin di rumah tak ada orang, mbak. Ibu setiap hari ada jadwal
kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa inggri
paling mbok wati yang ada dirumah,” jawab adit dengan lemah sambil memalingkan
wajahnya sedikit kearahku. Aku hanya
bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam. Ketika senja sudah beranjak pergi,
kudengar langkah tergesa-gesa memasuki kamar. Ayah dan ibu adit yang kelihaatan
sangat mencemaskan adit, segera menghampirinya yang berbaring lemah. Baru
setelah itu ibi adit menoleh kepadakuk dan mengucapkan terima kasih. Tak lama
terselang doni datang dengan kecemasan juga, doni tersenyum padaku sebelum
menyapa adit. Wah untung ada doni, bisa meminta tolong nganteriin aku pulang.
Aku sudahh capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat
pulangnya. Segera kku berbisik pada doni untuk mengantarkankku pulang. Dan
ternyata dia mengiyakannya. Aku berpamitan pada ayah dan ibu adit yang tak
hentinya mengucapkan terima kasih padaku karena sudah menemani adit, begitu
juga adit dengan di iringi senyum manisnya.
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketia
kau sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdenganr bunyi motor berhenti
di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku di ketuk.
Adit, dia memberikan kue tart coklat yan gcantik yang biasanya hanya bisa
kutengok di etalase toko roti, sebagi rasa terima kasih dari keluarganya. Kata
adit, itu bukinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum
yang dulu pernah di pinjamnya bersama doni.
“Mbak ini sesuai janji doni, kalau aku yang akan mengembalikannya
sendiri,” kata adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku
penuh hati. Aku salah tingkah,
seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang
membuat aku besar kepala. Tapi adit langsung berpamitan, dan ketika akan ku
letakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas terlipat jatuh dari
sela-selanya, mungkin punya adit yang tereslip di lembaran ini. Segera ku ambil
dan kubuka, ku baca tulisan didalamnya,
To : mbak tari
Mbak, adit suka sama mbak. Rasa ini sudah lama adit simpan.
Bagaimanakah perasaan mbak pada adit. Maaf ya mbak ?
From : Raditya.
TEDUH YANG TELAH
PERGI
Oleh : Moh. Imam
17 Juli 2010
“pagi hari, di kediaman keluarga dermawan ….
“ya … pak masa dinda ke skul harus naik angkot sich, bun ?”
“hari ini pak kosim nggak
bisa ngantar. Karena anaknya lagi sakit, dan semalam izin pulang. Udah ,
sekali-kali kamu berangkat naik angkot, n apa? Buruan sana berangkat, ntar
telat lho!!!”
“ya udah dech … dinda pergi dulu ya,
bun!”
Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi dinda. Karena supirnya
harus menemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia berangkat ke sekolah naik
angkot.
“duh, bunda ne, kenapa nggak
nyari orang lain sich buat nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot.
Mana panas lagi.”
Saat dia lagi sibuk mangoceh, tiba-tiiba muncul cowok yang cakep
banget duduk tepat di sebela dinda. Dan jantung dinda hampir aja copot saat itu
cowok senyum dengannya.
Dinda ngerasain perasaan yang lega dan semua kesalahannya hilang
seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi di tambah dengan sorot
matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang udah lama
tertahankan olehnya.seharian in krja dinda hanya senyum-senyum sendiri,
bundanya aja malah nganggap kalo dinda kesambet seatn halte bus.
“duh …. Itu cowok manis banget ya …. Saat gue liat mukanya, gue
ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu cowok?
Rasanya gue pengen banget kenalan ama tu
cowok. Pi gue malu. Hm … gue kasih nama
“teduh” aja dech …. Soalnya matanya tu tedu banget. And mulai besok gue bakalan
naik bus dech … soalnya gue pengen ngeliat muka tu cowok lagi” pikir dinda yang
masih nggak berhenti mikirkan cowok itu
di mimpi indahnya.
Paginya….
“bun, dinda pergi kesokalah dulu ya …!!!” pamit dinda sambil mencium
pipi bundanya.
“lho din, kamu nggak nunggu pak kosim dulu?”
“nggaklah bun, hari ini pngen naik bus aja …da bunda,” ucap dinda
sambil berlari meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di halte bus…..
“duh si teduh mana ya? Kok belum dating sich?” batn dinda gelisah
karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tapi baru saja dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya,
tiba-tiba muncul seorang cowok yang
bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa dinda.
“Hei …. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat
dinda terpaku.
“Lho kok diam?”“Eh,,, sorry… tadi kamu bicara apa?”
“Aku tannya, kamu baru saja naik bus ya? Soalnya aku baru saja
ngeliat kamu semalam”.
“Ha…., Oh iya …. Nam ….” Belum dinda menyelesaikan pertanyaanya,
tiba-tiba bus
yang menuju ke sekolah dinda datang.
“Eh … tu bus kamu udah datang”.
“Oh iya…. Hm…. Aku berangkat dulun ya…...,” pamit dinda yang dibalas
dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah dinda berat banget buat
ninggalin “teduh”nhya itu.
Sudah sebulan dinda ketemu sama cowok ppujaan hatinnya itu. Tapi
nggak sekalipun dia berani berkenalan
dengan “ teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tidak berani.
Sampai akhirnya suatu hari dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan
“teduh” hari ini. Tapi orang yang di tunggu-tunggu tak kunjunng datang. Dan
dinda nggak sadar kalo itu adalah pertemuan terakhir dengan “teduh”nya itu.
Seminggu sudah dinda menanti sang pujaan hati, tapi “teduh” tak
kunjung datang. Dan seminggu pula dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu
dengan “teduh”.
Sauatu pagi, saat iia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi
yang biasa diduduki “teduh” sudah diduduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu
bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusiannya
dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat di rindukan
dinda.tapi dari raut mukanya, tampak sekai kalau beliau sedang bersedsih.
Tiba-tiba ibu itu menyapa dinda dengan ramah.
“Lagi nuggu bus ya, dek?” sapanya ramah.
“Iya bu….”
“kalo anak saya masih hidup , dia mungkin duduk disini dan nungguin
bus juga kayak kamu!”
“Lho … memangnya anak ibu kemana?”
“Anak saya usah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan
pernah kembali lagi”.
“Maksud ibu dia pergi keluar
kota ya?”
“bukan nak, dia udah meninggal dunia.”
“Oh … maaf ya bu….”
Nggak apa-apa kok dek …… dia itu punya mata yang teduh sekali,
setiap orang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”
“Sayang ya bu, saying tak bisa
melihat mukanya. Tapi dar cerita ibu, saya ngerasa mirip banget dengan
seseorang.”
“Hm…. Kebetulan saya membawa fotonya.” Jaawab ibu sambil menyerahkan
foto anaknya.
“Oh ya…. Sebelumnya ibu ingin minta tollng sama kamu, bisa nggak membantu ibu?”
“Apa yang bisa saya bantu Bu?”
“Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan
dia berpesan agar surat itu di berikan kepada seorang cewek yang bernama dinda.
Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adek bisa menyampaikannya
kepada dinda.” Pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan dinda dengan
perasaan bingung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu ternyata …..
“Halo dinda …. Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa akku tahu namamu
… itu karena aku sengaja melihat namamu … andai saja aku masih hidup, ingin
rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi
kau tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini. Sekarang aku percaya dengan
cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa kau sudah jatuh cinta padamu
saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku nggak punya keberanian buat
ngungkapinnya.
Karena kita belum saing kenal,
tapi sekarang aku lega, karena sebelum aku meninggal, akku bisa mengungkapin perasaan ini, walaupun
hanya lewt sepucuk surat. Dan sekarang
aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa
beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku
tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambah semangatku untuk hidup lebih lama.
Dariku Reza”.
Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata dinda tak dapat di
tahan lagi. Ia merasa laemas saat melihat sosok pria yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata
yang membuatnya menanti selama sebulan.
Membuatnya rela panas-panasan menunggu
angkot, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari. Lalu dinda membaca surat terakhir dari teduh. Sekarang
sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak
bicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian “teduh”
bersama denga n rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.
semoga bermanfaat...!
semoga bermanfaat...!
No comments:
Post a Comment